Doa Malam ini
Semoga kita senantiasa dapat menjadi jalan kebaikan bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang kita cintai.. walaupun hanya Allah yang menyadari..
Posted in Karyaku, Renungan hati, tagged Allah, cahaya, do'a, hati, puisi, rabbi, renungan hati on Mei 6, 2013| 2 Comments »
Doa Malam ini
Semoga kita senantiasa dapat menjadi jalan kebaikan bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang kita cintai.. walaupun hanya Allah yang menyadari..
Posted in Karyaku, Obrolan Ku, Renungan hati on Agustus 15, 2012| 6 Comments »
Posted in Karya Sastra, Karyaku, tagged cerita, cerita pendek, cerpen, karya, Karya Sastra, serupa bunga on Mei 15, 2012| 3 Comments »
SERUPA BUNGA
Cerpen oleh Greeny Azzahra
“Mengapa?”
Pertanyaan itu ia lontarkan setiap ibunya berkata,
“Kau harus hidup.”
“Apa gunanya?”
Kembali ia lontarkan pertanyaan, dan setiap itu pula ibunya hanya mengakhiri dengan senyuman dan meninggalkannya sendirian.
Dan seperti hari-hari sebelumnya, di pikirannya tergambar kembali hidup yang sudah tidak menarik, hanya serupa waktu yang sia-sia. Tak ada suka cita, atau warna-warni ceria. Baginya hidup terdimensi menjadi plafon kamar, tembok putih, kasur yang semakin lama semakin menghisap tubuhnya.
Dulu ia tak begini. Semua tahu, semua ingat. Bunga yang ceria. Bunga yang merona. Bunga yang bahagia. Tapi sekarang?
“Kau tetap bungaku.” Begitu yang selalu ibunya bilang. Setiap fajar dan setiap senja. Rutin. Selalu sama, dengan ajakan yang serupa;
“Kau mau melihat fajar? Sungguh cantik.”
Atau,
“Kau mau melihat senja? Sungguh cantik.”
Ia hanya menggeleng lemah. Kadang ia jawab dengan terdiam, kadang ia jawab dengan sebaris pertanyaan;
“Buat apa? Tak ada gunanya menikmati waktu. Bukankah fajar hanya menawarkan itu?”
Atau,
“Buat apa? Tak ada gunanya menikmati kelam. Bukankah senja hanya menawarkan hitam?”
Tapi ibunya seperti ibunya dulu. Bagi wanita itu tak ada waktu yang buruk. Semua waktu pasti baik. Bagi wanita itu tak ada kelam yang hitam. Semua kelam pasti berubah terang.
Mungkin itu yang membuatnya kesal, ketika sebuah kecelakaan dengan tega merenggut kebahagiaannya, ibunya malah berkata;
“Bukankah sesudah kesulitan ada kemudahan.”
Tidak ibu! Kesulitan ini tak akan bertemu kemudahan! Kesulitan ini akan terus kurasakan! Ingin ia berteriak seperti itu. Tapi cinta yang berkaca di mata wanita tua itu, membuat semua ucapannya luruh hanyut beserta air mata.
***
Siang itu ibu kembali menemuinya di kamar. Kali ini senyum ibunya lebih lebar dari biasanya. Dan ia, seperti dirinya kemarin-kemarin. Bergelung selimut kusam, di atas tempat tidur.
Tak ada ucapan yang keluar dari mulut ibunya. Sesekali hanya batuk-batuk kecil yang terdengar. Ia amati ibunya itu yang sedari tadi melakukan beberapa aktivitas di kamarnya. Membuka tirai jendela. Mengelap meja di samping jendela. Merapihkan barang-barang di atasnya. Keluar. Kembali lagi dengan membawa sebuah pot berisi bunga.
“ Dendrobium. Cantik bukan?” lalu ibunya meletakan pot tersebut di atas meja kamarnya.
“Secantik bungaku.” Sambung ibunya kembali.
Jadi kini bertambahlah penghuni baru di kamar itu. Sebuah pot dengan tanaman anggrek menghiasinya. Ia tak tahu apa maksud dari perbuatan ibunya itu. Buat apa? Tak ada gunanya! Pikirnya atas kehadiran bunga itu.
Selanjutnya, setiap hari ibunya datang ke kamar. Menyapanya. Menjawab keluh kesahnya. Mengajaknya melihat fajar atau senja -walau dengan jawaban serupa-. Lalu kemudian merawat tanaman di meja itu. Hingga bunga itu semakin lama tampak semakin cantik.
Ia berusaha tidak peduli dengan kehadiran bunga itu. Tapi matanya bahkan kini mulai mengkhianatinya. Rupa ungu yang berpadu putih memang indah, menariknya untuk menikmati itu semua.
“Kau suka?” tanya ibunya ketika tak sengaja menangkap tatapannya yang tertuju pada pot di atas meja.
Ia tak menjawab.
“Bunga, bagaimanapun rupanya. Orang selalu mengartikan bunga sebagai sebuah kecantikan, keindahan,” ibunya menarik nafas lalu melanjutkan lagi, “Begitupun engkau, Nak. Bagi ibu bagaimanapun rupamu, engkau tetap bunga ibu yang cantik.”
Ia hanya terdiam. Ia rasakan matanya yang mulai memanas.
Wanita itu menyentuh wajahnya, “Layu bukanlah kehendak bunga. Itu sebuah keniscayaan. Pasti terjadi suatu saat nanti. Dan kau, Nak. Belum saatnya merasakan itu.”
Sekali lagi, ia hanya terdiam. Begitu ibunya keluar. Entah darimana datangnya, tiba-tiba ia beranikan diri untuk menarik badannya menjauhi tempat tidur dan mendekati kursi roda yang teronggok di sebelahnya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha menjangkau kursi tersebut. Ingin ia memanggil ibunya. Meminta bantuannya. Tapi keberaniannya ternyata tak cukup banyak untuk melakukan itu.
Berhasil! Pekiknya setelah susah payah akhirnya ia bisa menaiki kursi tersebut.
Dengan gerakan yang kaku, ia memutar roda kursi tersebut. Mendekati meja di depannya. Ia raih kelopak dendrobium tersebut. Ia amati dengan seksama.
“Kau sungguh cantik.” Gumamnya.
Ia teringat sapaan kawan-kawannya dulu, “Kau Bunga, sungguh cantik!”
Ia tergugu. Ia tahu sapaan itu tak akan ia dengar lagi sekarang.
“Kau Bunga, sungguh cantik!” Ia menengok ke belakang. Wanita berbusana hijau di dekat pintu menyapanya.
“Sama seperti bunga ini.” Ucap ibunya kembali begitu sampai di sampingnya.
“Tidak, Bu. Tidak sama.”
Ibunya meraih tangannya. Mendekatkan tangan itu ke dadanya.
“Di sini. Ibu tahu, kau masih sama. Tetap Bunga yang cantik.”
Tubuhnya bergetar. Menahan tangis agar tak tumpah.
“Benarkan?” sambung ibunya kembali.
Ia tak menjawab.
Kali ini ibunya menjangkau tirai jendela. Menyisihkan ke samping. Membuka perlahan kaca jendela. Sesaat dapat ia rasakan angin yang berhembus menggelitik wajahnya.
Ia arahkan tatapannya pada pandangan di balik jendela. Ia terkejut.
Sejak kapan halaman rumahnya berubah menjadi taman bunga? Bukan hanya ungu, tetapi merah, jingga, biru, hijau. Semua terhampar begitu indah.
“Kau mau melihat senja? Sungguh cantik.” Tanya ibunya.
Matanya kini basah. Dengan suara bergetar ia jawab pertanyaan ibunya itu,
“Ya.”
***
Cerpen ini merupakan Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Se-Kota Bandung dengan tema Pendidikan Karakter yang diselenggarakan oleh HIMA PERSIS Kota Bandung
Posted in Karya Sastra, Karyaku, tagged cerita, cerita pendek, cerpen, janji mati, Karya Sastra, majalah, sastra on Mei 15, 2012| 1 Comment »
JANJI MATI
Cerpen oleh Greeny Azzahra
dimuat di Rubrik Cerpen Majalah Ruang Makna PKPU Edisi 2
“Sial, hampir saja!” Umpatnya pelan.
Ia tengokan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tak merasa cukup, ia edarkan pandangan ke semua penjuru. Ruangan itu kosong.
Sedetik kemudian, ia hembuskan kembali nafasnya. Lega.
Serta merta ia hempaskan tubuhnya ke sofa. Butir keringat yang sembari tadi meleleh pelan menuruni dahi, ia usap sekenanya.
“Lain kali aku harus lebih sigap!” ujarnya. Hampir saja ia tertangkap.
Ia amati kalender yang menggantung. Bodoh! Kenapa ia bisa lupa jika hari ini tanggal 22?! Tinta merah tebal melingkari angka tersebut.
Pikirannya langsung mengingat peristiwa sebulan yang lalu. Ketika ia mengikrarkan janji.
“Aku janji! Kau boleh menemuiku sebulan lagi. Ya, tanggal 22 Mei nanti kau boleh datang padaku. Aku janji tidak akan melawanmu.” Lawan bicaranya tidak menjawab. Hanya suara serupa dengkuran yang keluar dari mulutnya. Atau itu hanya suara angin yang berhembus tepat di belakang mereka? Entahlah, kali itu ia tidak peduli. Pikirannya terlalu sibuk memikirkan kata-kata rayuan yang akan ia ucapkan berikutnya.
“Istriku baru melahirkan. Berilah aku kesempatan untuk merasakan diri menjadi seorang ayah.”
Lawan bicaranya perlahan pergi menjauh. Ia tunggu terus hingga sosok itu lamat-lamat menghilang dari pandangan.
“Berhasil!” pekiknya girang.
Tapi ternyata sekelebat janji yang ia ucapkan itu luntur tergerus rutinitas yang ia jalani. Anak yang lucu, istri yang dicinta dan pekerjaan yang terus memberinya limpahan uang.
Pikirnya, tak ada janji yang mesti ia tepati. Pikirnya tak ada sosok yang mesti ia temui. Pikirnya tak ada ancaman, tak ada masalah, tak ada gertakan yang mesti ia rasakan.
Argghh, sekarang ia mengerti. Perencanaan yang matang tetap mesti ia lakukan, walaupun hanya untuk sekedar mengingkari janji.
Tok Tok!
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Siapa itu?!” ucapnya bergetar.
“Saya, Mas.” Suara lembut seorang wanita terdengar dari balik pintu.
“Oh, masuk saja. Tidak dikunci.”
Bukan dia.
“Kenapa sudah pulang, Mas? Bukannya Mas ada janji dengan klien?” istrinya bertanya heran.
“Aku tidak enak badan, Dinda.”
Bohong! Batinnya menjerit.
“Bisa tinggalkan Mas sendiri? Mas ingin istirahat.” Tanpa menjawab, istrinya menganggukan kepala dan keluar dari ruangan.
Dinda tak perlu tahu. Cukuplah dirinya yang kelelahan dikejar-kejar ketakutan. Selama ini bukankah ia telah cukup kuat berlari menjauh dari ketakutan? Jika tidak, tidak akan ada rumah mewah yang ia tempati sekarang. Tidak akan ada Mercy Hitam terpakir di halaman. Tidak akan ada ini, tidak akan ada itu.
Tapi kali ini ketakutan itu serupa mimpi buruk yang mendatanginya setiap waktu. Perlawanannya tak cukup kuat. Kegagahannya tak membantu banyak. Pertahanannya runtuh. Ia ambruk, pasrah dikerubuti takut. Gusti!
***
Matanya merah. Posisi duduknya tak berubah semenjak kemarin siang. Sesekali ia usap wajahnya. Menyapu kantuk yang menyerang.
“Saya sedang ingin sendiri, Dinda!” begitu yang ia katakan tiap kali istrinya memanggil dari balik pintu.
“Dia tak akan datang, aku yakin tak ada kedatangan ketiga, keempat dan seterusnya. Belum waktunya!” ia coba meyakinkan hati. Tapi setiap ia yakin, setiap itu pula ia ragu. Sungguh menakutkan!
Dulu, ia selalu yakin semua ketakutan telah berhasil ia lawan. Tak ada rasa takut ketika sikut-menyikut menjadi jurus utamanya mempertahankan jabatan. Tak ada rasa takut ketika bertumpuk uang haram ia habiskan kontan. Namun, perlahan waktu dengan sadisnya mengikis semua keyakinannya itu.
Prang!!
Refleks ia terlonjak dari duduknya, kaget oleh bunyi yang terdengar.
Mercyku!. Perasaannya sangat yakin bahwa bunyi itu berasal dari mobil yang terparkir di halaman.
Entah datang darimana keberanian itu. Ia bergegas membuka pintu yang terkunci, menuruni tangga, melewati istrinya yang keheranan, melewati satu persatu ruangan menuju halaman. Bagaimanapun mobil itu susah payah aku dapatkan! Batinnya.
Matanya membelalak. Ternyata benar, suara itu berasal dari mobil kesayangannya. Kaca depannya pecah. Beberapa goresan terlihat silang menyilang melukai body hitam mobilnya.
“Siapa yang melakukannya?!” teriaknya sembari memasuki mobil. Semua rasa takutnya seakan menguap dan berganti menjadi kekesalan. Mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah saat ia mencoba menghidupkan mesin. Untung mesinnya dapat menyala, setidaknya itu sedikit mengobati kekesalannya.
Namun sesaat sebelum menjalankan kendaraan kesayangannya itu, pegangannya pada stir melemah. Matanya nanar menatap angka yang berkedip-kedip di jam digital yang menghiasi dashboard. Bukan, bukan pada angka yang terbesar. Tetapi pada sebaris angka kecil di atas angka besar.
22-04-2011
Bukankah itu bulan lalu?
Ia terhenyak. Ia ingat!
Ada ia.
Ada istrinya.
Ada pertengkaran.
Ada kecelakaan.
Ada perjanjian.
Ada jawaban;
“Tak ada janji mati! Kebanyakan manusia mengingkari!!!”
***
Posted in Karyaku, Obrolan Ku, Renungan hati, tagged do'a, doa hati, karya, Karya Sastra, renungan, sajak, tanya on Mei 23, 2011| 24 Comments »
Aku bertanya pada waktu yang menggusurku terlalu
Aku bertanya pada surya yang seperti menganiaya
Aku bertanya pada senja yang tak memberiku jeda..
Aku bertanya ..Aku bertanya…
Mengapa???
Dan di saat terjaga, kuingat Ia berkata..
“Aku tidak menguji hambaKu di luar kesanggupannya”
Maka Kusandingkan jemari, membasuh diri, mengusir gelisah hati,,
Bandung-23 Mei 2011-
Yaa Rabb,,hilangkan semua kesulitan yang menghimpitku, permudahlah semua urusanku, kuatkanlah akuYaa Rabb,,Kuatkan..
Posted in Karya Sastra, Karyaku, Renungan hati, tagged anak, anak jalanan, karya, obrolan, renungan on Mei 19, 2011| 10 Comments »
Tuhan, berikan aku sejuta naungan,
agar dengannya dapat kulindungi mereka dari panas dan hujan
Tuhan berikan aku sejuta kehangatan,
agar dengannya dapat kunyenyakan mereka di dinginnya malam
Tuhan berikan aku sejuta keceriaan,
agar dapat kubagikan pada mereka yang menangis di jalanan
Tuhan berikan aku sejuta kasih sayang,
agar dapat kudekap mereka yang sendirian
Posted in Karyaku, tagged cerita, cerita pendek, cerpen, malaikat hujan on April 6, 2011| 10 Comments »
MALAIKAT HUJAN
AKU tak suka hujan.
Bagiku tiap rintiknya adalah bencana. Awan hitam yang menggulung sebelum kehadirannya tampak seperti asap para penyihir yang siap disemburkan untuk meneluh tiap korbannya. Apalagi ketika gelegar petir menyertainya, bagiku mendadak dunia seperti neraka, sungguh menakutkan.
Aku tak suka hujan.
Entah mengapa, semua cerita sedihku selalu diiringi olehnya. Ibuku meninggal ketika hujan. Ayahku pergi dari rumah ketika hujan. Aku diusir dari kontrakan ketika hujan. Hari pertama aku putus sekolah ketika hujan. Dan pertama kali aku menjadi pengamen jalanan pun ketika hujan.
Aku tak suka hujan.
Ketika hujan, aku memilih untuk bersembunyi di dalam gudang tua tak terpakai, pusat-pusat perbelanjaan, pasar-pasar tradisional, ataupun musala terdekat yang aku lihat. Aku memilih untuk tak berkuyup-kuyup menantang hujan seperti teman-teman jalananku. Aku memilih untuk menghindari hujan walaupun berjam-jam lamanya aku mesti bersembunyi. Walaupun banyak teman yang meledekku, aku tak peduli.
Karena sungguh aku tak suka hujan.
Lain halnya dengan Marni. Sahabat dekatku itu justru menyukai hujan. Ia selalu tampak gembira ketika awan hitam mulai menutupi sinar mentari. Ia akan menari-nari ketika rintik air telah membasahi bumi. Padahal tak sedikit pengamen yang sering menggerutu ketika hujan datang karena mereka mau tak mau mesti mencari uang dalam keadaan basah dan dingin. Tapi anehnya performa jalanan Marni justru lebih memukau ketika hujan. Begitu yang aku dengar dari teman-teman. Aku tak pernah menyaksikan langsung bagaimana kebahagiaan dan penampilannya ketika turun hujan karena pada saat itu aku pasti sedang bersembunyi menghindari hujan.
Pernah suatu saat aku menanyakan perihal kesenangannya pada hujan.
“Hujan itu rahmat, Sus. Dalam tiap tetesnya ada kebaikan yang coba Tuhan bagikan pada manusia. Begitu yang aku dengar dari ceramah di masjid alun-alun,” jawabnya dengan senyum tersungging.
Tetap saja aku tak suka hujan.
Apalagi minggu kemarin aku hampir diciduk polisi. Razia itu membuat aku mesti berlari ke sana-kemari menghindari kejaran mereka, dan itu terjadi ketika rintik gerimis mulai aku rasakan, padahal biasanya aku selalu bergegas pergi sembunyi ketika melihat tanda-tanda akan turun hujan. Ah, rasanya petaka selalu menghampiriku ketika hujan. Mungkin Marni mengalami hal yang sebaliknya sehingga dia menyukai hujan, tapi itu sama sekali tidak membuat persepsiku berubah tentang hujan.
**
AKU tak suka hujan.
Berkali-kali aku katakan itu pada Marni, tapi pagi itu dengan setengah memaksa ia menarikku ke jalanan ketika hujan akan datang.
“Ayo, Sus, kamu harus merasakan langsung nikmatnya guyuran hujan, agar rasa takutmu padanya hilang!” serunya.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangannya yang kuat memegangiku. Kakiku pun kupaksakan untuk tak beranjak dari gubuk kardus tempatku tinggal. Menurutku perbuatan Marni sungguh konyol. Apa yang membuat dia begitu menginginkan aku untuk menantang hujan? Tapi semua usahaku itu sia-sia. Marni, yang memiliki tubuh yang lebih besar dariku, berhasil menarikku hingga ke tepian jalan.
Rasa takut mulai menyelimutiku ketika tetesan hujan sedikit demi sedikit membasahi tubuhku.
“Lihatlah, Sus! Hujan ini tidak akan membunuhmu. Ayo kita rayakan kedatangan rahmat Tuhan ini!” teriak Susi dengan tubuh menari-nari tapi satu tangannya masih erat memegangiku.
Aku pasrah. Rasa takut membuat tubuhku mendadak lemas. Hanya sesekali aku menyeka tetesan hujan di wajahku. Rasanya asin. Aku tak tahu apakah ini memang tetesan hujan atau air mataku yang mengucur. Marni mungkin merasakan tanganku yang mengendur sehingga ia pun akhirnya melepaskan pegangannya pada tanganku.
Aku tak suka hujan.
Empat belas tahun aku hidup, baru kali ini aku memasrahkan diriku diterkam basahnya hujan. Tubuhku menggigil, tapi anehnya aku tidak beranjak untuk menghindari hujan. Aku memilih untuk berjongkok di tepian jalan.
Aku heran temanku Marni begitu antusias menyambut hujan. Ia melenggang ke sana-kemari sambil mendendangkan macam-macam lagu. Ketika lampu merah, ia langsung menghampiri angkutan umum yang berhenti dan dengan tubuh yang basah ia menyanyikan lagu band kesukaannya, ST-12.
Kuperhatikan mimik wajah temanku yang sedang mengamen itu. Wajahnya tampak cerah, jauh dari kesan mendung, rambut ikalnya basah. Tubuh yang sedikit gemuk itu bergoyang dengan lincahnya. Walaupun ia mengamen tanpa membawa alat musik apa pun, keceriaannya mampu menyihir para penumpang angkutan umum untuk memberinya sekeping rupiah.
Padahal kisah hidup Marni tidak lebih baik dariku. Ia yang lebih muda satu tahun dariku telah menjadi anak jalanan ketika usianya baru empat tahun, lain denganku yang akhirnya terpaksa hidup di jalanan ketika aku mesti putus sekolah menjelang ujian akhir sekolah dasar.
Kuperhatikan juga mimik wajahku sendiri di genangan air di depanku. Wajah yang kusam. Jelas aku sudah tidak tahu bagaimana cara tersenyum yang baik, kesan sinis selalu aku tampakkan. Rambut panjangku selalu aku biarkan tergerai, menutupi sebagian wajahku, lebih tepatnya menutupi rasa kerendahdirianku. Saat mengamen pun aku tidak pernah berani bernyanyi. Aku biasanya memilih untuk mengiringi Marni atau teman jalananku yang lain dengan gitar usang kepunyaanku.
Hampir setengah jam aku jongkok di tepian jalan, menyaksikan penampilan Marni dan teman-teman jalanan lainnya, menyaksikan hilir-mudik kendaraan, para pedagang asongan, serta orang-orang yang lalu lalang menyeberangi jalan. Dan tak dapat aku percaya, aku menyaksikan semua itu di tengah guyuran hujan yang cukup deras.
Aku tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Apa karena aku terlalu syok sehingga tidak bisa menggerakkan kakiku untuk berlari menghindari hujan, atau karena rasa kagumku menyaksikan sahabatku Marni? Benar kata teman-teman, penampilan Marni tatkala hujan sungguh memukau. Suara gemericik hujan seperti mengiringinya berdendang. Cahaya kendaraan yang terpantulkan dari tetesan hujan menambah pesona Marni sebagai artis jalanan. Ia tampak seperti malaikat yang ditugaskan Tuhan untuk membasahi bumi dengan hujan dan menebar kebahagiaan di tengah kekesalan para pengguna jalan yang terjebak hujan.
Kulihat Marni mendekatiku. Ia pun jongkok di depanku dan berkata,
“Benar, kan, Sus, hujan itu rahmat, hujan itu kebahagiaan, hujan itu kebaikan. Kau tidak boleh lagi mencela anugerah Tuhan ini, oke?”
Sepertinya Marni ingin mengubah semua persepsiku tentang hujan. Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya menundukkan wajahku lebih dalam, tapi tampaknya ia sudah bisa menebak isi kepalaku dengan hanya melihat diriku yang pasrah diguyur hujan.
Marni pun mencubit lenganku, tidak sakit.
Aku diam tak merespons perbuatannya.
Ia pun mencubitku kembali. Agaknya ia memang menunggu respons dariku.
Aku pun membalas mencubit pinggangnya. Marni sedikit terkejut, lalu ia terkekeh-kekeh. Deretan giginya yang tidak rapi membuatnya tampak lucu. Dan tak dapat kututupi senyum yang kurasa kini tersungging di bibirku.
Tanpa menungguku Marni kembali berlari ceria menuju jalan raya. Namun mendadak senyumku surut, ketika sosok tubuh gempal itu terlempar dari badan jalan.
Kudengar keriuhan di depanku, dan dapat kusaksikan genangan air hujan di sana telah berubah menjadi berwarna merah.
Tubuhku limbung.
Sungguh, Tuhan, aku tidak suka hujan!
By. Greeny Azzahra
Dimuat di Harian Tribun Jabar Edisi 13 Maret 2011
Posted in Karya Sastra, Karyaku, Obrolan Ku, tagged info, karya, Karya Sastra, membaca, modem, sajak on Maret 18, 2011| 18 Comments »
Assalammu’alaikum wr.wb kawan..
apa kabar??
Maaf yaa sudah lama tidak update, sebenarnya banyak hal yang ingin saya bagikan di rumahku ini, tapi apa daya konektivitas sang modem tidak mendukung.. 😦
beberapa kali saya coba memposting tulisan, tapi setelah saya mengklik tombol “Publish” seketika itu muncul tulisan “PAGE LOAD ERROR”
Hoaahh..beginilah nasib yg memakai provider murahh..heuu
tapi yasudlah,disyukuri saja.. 🙂
kadang2 bisa jg konek cepet, seperti sekarang 😆
dan kali ini saya ingin berbagi puisi yang sy buat beberapa waktu yang lalu..
Enjoy it 😀
Aku gembira membaca
By. Greeny Azzahra
Aku gembira membaca
membaca dunia dari goresan pena.
Aku gembira membaca
berjuta cerita; suka,duka,agama bahkan cinta!
Aku gembira membaca
sungguh luar biasa,
kudapati metafora; penguat kata,penguat jiwa!
Aku gembira membaca
galaksi,surya,awan,angin,jalan,manusia atau ruas-ruas kisah di jendela
Aku gembira membaca
di sudut senja,tanpa atau dengan air mata
Aku gembira membaca
kita, yang menjejaki waktu bersama..
Posted in Karya Sastra, Karyaku, tagged bulan, Karya Sastra, pemandangan, renungan, sajak, surat, surya on Januari 19, 2011| 3 Comments »