Doa Malam ini
Semoga kita senantiasa dapat menjadi jalan kebaikan bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang kita cintai.. walaupun hanya Allah yang menyadari..
Posted in Karyaku, Renungan hati, tagged Allah, cahaya, do'a, hati, puisi, rabbi, renungan hati on Mei 6, 2013| 2 Comments »
Doa Malam ini
Semoga kita senantiasa dapat menjadi jalan kebaikan bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang kita cintai.. walaupun hanya Allah yang menyadari..
Posted in Karyaku, Obrolan Ku, Renungan hati on Agustus 15, 2012| 6 Comments »
Posted in Sajak Sapardi Djoko Damono, tagged puisi, sajak, Sapardi Djoko Damono, sastra on Agustus 2, 2012| 1 Comment »
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara…
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana…
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu…
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku…
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku…
Aku mencintaimu…
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu…
~*Sapardi Djoko Damono*~
[ Kumpulan Sajak “Hujan Bulan Juni”, 1989 ]
Posted in Karya Sastra, Karyaku, tagged cerita, cerita pendek, cerpen, karya, Karya Sastra, serupa bunga on Mei 15, 2012| 3 Comments »
SERUPA BUNGA
Cerpen oleh Greeny Azzahra
“Mengapa?”
Pertanyaan itu ia lontarkan setiap ibunya berkata,
“Kau harus hidup.”
“Apa gunanya?”
Kembali ia lontarkan pertanyaan, dan setiap itu pula ibunya hanya mengakhiri dengan senyuman dan meninggalkannya sendirian.
Dan seperti hari-hari sebelumnya, di pikirannya tergambar kembali hidup yang sudah tidak menarik, hanya serupa waktu yang sia-sia. Tak ada suka cita, atau warna-warni ceria. Baginya hidup terdimensi menjadi plafon kamar, tembok putih, kasur yang semakin lama semakin menghisap tubuhnya.
Dulu ia tak begini. Semua tahu, semua ingat. Bunga yang ceria. Bunga yang merona. Bunga yang bahagia. Tapi sekarang?
“Kau tetap bungaku.” Begitu yang selalu ibunya bilang. Setiap fajar dan setiap senja. Rutin. Selalu sama, dengan ajakan yang serupa;
“Kau mau melihat fajar? Sungguh cantik.”
Atau,
“Kau mau melihat senja? Sungguh cantik.”
Ia hanya menggeleng lemah. Kadang ia jawab dengan terdiam, kadang ia jawab dengan sebaris pertanyaan;
“Buat apa? Tak ada gunanya menikmati waktu. Bukankah fajar hanya menawarkan itu?”
Atau,
“Buat apa? Tak ada gunanya menikmati kelam. Bukankah senja hanya menawarkan hitam?”
Tapi ibunya seperti ibunya dulu. Bagi wanita itu tak ada waktu yang buruk. Semua waktu pasti baik. Bagi wanita itu tak ada kelam yang hitam. Semua kelam pasti berubah terang.
Mungkin itu yang membuatnya kesal, ketika sebuah kecelakaan dengan tega merenggut kebahagiaannya, ibunya malah berkata;
“Bukankah sesudah kesulitan ada kemudahan.”
Tidak ibu! Kesulitan ini tak akan bertemu kemudahan! Kesulitan ini akan terus kurasakan! Ingin ia berteriak seperti itu. Tapi cinta yang berkaca di mata wanita tua itu, membuat semua ucapannya luruh hanyut beserta air mata.
***
Siang itu ibu kembali menemuinya di kamar. Kali ini senyum ibunya lebih lebar dari biasanya. Dan ia, seperti dirinya kemarin-kemarin. Bergelung selimut kusam, di atas tempat tidur.
Tak ada ucapan yang keluar dari mulut ibunya. Sesekali hanya batuk-batuk kecil yang terdengar. Ia amati ibunya itu yang sedari tadi melakukan beberapa aktivitas di kamarnya. Membuka tirai jendela. Mengelap meja di samping jendela. Merapihkan barang-barang di atasnya. Keluar. Kembali lagi dengan membawa sebuah pot berisi bunga.
“ Dendrobium. Cantik bukan?” lalu ibunya meletakan pot tersebut di atas meja kamarnya.
“Secantik bungaku.” Sambung ibunya kembali.
Jadi kini bertambahlah penghuni baru di kamar itu. Sebuah pot dengan tanaman anggrek menghiasinya. Ia tak tahu apa maksud dari perbuatan ibunya itu. Buat apa? Tak ada gunanya! Pikirnya atas kehadiran bunga itu.
Selanjutnya, setiap hari ibunya datang ke kamar. Menyapanya. Menjawab keluh kesahnya. Mengajaknya melihat fajar atau senja -walau dengan jawaban serupa-. Lalu kemudian merawat tanaman di meja itu. Hingga bunga itu semakin lama tampak semakin cantik.
Ia berusaha tidak peduli dengan kehadiran bunga itu. Tapi matanya bahkan kini mulai mengkhianatinya. Rupa ungu yang berpadu putih memang indah, menariknya untuk menikmati itu semua.
“Kau suka?” tanya ibunya ketika tak sengaja menangkap tatapannya yang tertuju pada pot di atas meja.
Ia tak menjawab.
“Bunga, bagaimanapun rupanya. Orang selalu mengartikan bunga sebagai sebuah kecantikan, keindahan,” ibunya menarik nafas lalu melanjutkan lagi, “Begitupun engkau, Nak. Bagi ibu bagaimanapun rupamu, engkau tetap bunga ibu yang cantik.”
Ia hanya terdiam. Ia rasakan matanya yang mulai memanas.
Wanita itu menyentuh wajahnya, “Layu bukanlah kehendak bunga. Itu sebuah keniscayaan. Pasti terjadi suatu saat nanti. Dan kau, Nak. Belum saatnya merasakan itu.”
Sekali lagi, ia hanya terdiam. Begitu ibunya keluar. Entah darimana datangnya, tiba-tiba ia beranikan diri untuk menarik badannya menjauhi tempat tidur dan mendekati kursi roda yang teronggok di sebelahnya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha menjangkau kursi tersebut. Ingin ia memanggil ibunya. Meminta bantuannya. Tapi keberaniannya ternyata tak cukup banyak untuk melakukan itu.
Berhasil! Pekiknya setelah susah payah akhirnya ia bisa menaiki kursi tersebut.
Dengan gerakan yang kaku, ia memutar roda kursi tersebut. Mendekati meja di depannya. Ia raih kelopak dendrobium tersebut. Ia amati dengan seksama.
“Kau sungguh cantik.” Gumamnya.
Ia teringat sapaan kawan-kawannya dulu, “Kau Bunga, sungguh cantik!”
Ia tergugu. Ia tahu sapaan itu tak akan ia dengar lagi sekarang.
“Kau Bunga, sungguh cantik!” Ia menengok ke belakang. Wanita berbusana hijau di dekat pintu menyapanya.
“Sama seperti bunga ini.” Ucap ibunya kembali begitu sampai di sampingnya.
“Tidak, Bu. Tidak sama.”
Ibunya meraih tangannya. Mendekatkan tangan itu ke dadanya.
“Di sini. Ibu tahu, kau masih sama. Tetap Bunga yang cantik.”
Tubuhnya bergetar. Menahan tangis agar tak tumpah.
“Benarkan?” sambung ibunya kembali.
Ia tak menjawab.
Kali ini ibunya menjangkau tirai jendela. Menyisihkan ke samping. Membuka perlahan kaca jendela. Sesaat dapat ia rasakan angin yang berhembus menggelitik wajahnya.
Ia arahkan tatapannya pada pandangan di balik jendela. Ia terkejut.
Sejak kapan halaman rumahnya berubah menjadi taman bunga? Bukan hanya ungu, tetapi merah, jingga, biru, hijau. Semua terhampar begitu indah.
“Kau mau melihat senja? Sungguh cantik.” Tanya ibunya.
Matanya kini basah. Dengan suara bergetar ia jawab pertanyaan ibunya itu,
“Ya.”
***
Cerpen ini merupakan Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Se-Kota Bandung dengan tema Pendidikan Karakter yang diselenggarakan oleh HIMA PERSIS Kota Bandung
Posted in Karya Sastra, Karyaku, tagged cerita, cerita pendek, cerpen, janji mati, Karya Sastra, majalah, sastra on Mei 15, 2012| 1 Comment »
JANJI MATI
Cerpen oleh Greeny Azzahra
dimuat di Rubrik Cerpen Majalah Ruang Makna PKPU Edisi 2
“Sial, hampir saja!” Umpatnya pelan.
Ia tengokan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tak merasa cukup, ia edarkan pandangan ke semua penjuru. Ruangan itu kosong.
Sedetik kemudian, ia hembuskan kembali nafasnya. Lega.
Serta merta ia hempaskan tubuhnya ke sofa. Butir keringat yang sembari tadi meleleh pelan menuruni dahi, ia usap sekenanya.
“Lain kali aku harus lebih sigap!” ujarnya. Hampir saja ia tertangkap.
Ia amati kalender yang menggantung. Bodoh! Kenapa ia bisa lupa jika hari ini tanggal 22?! Tinta merah tebal melingkari angka tersebut.
Pikirannya langsung mengingat peristiwa sebulan yang lalu. Ketika ia mengikrarkan janji.
“Aku janji! Kau boleh menemuiku sebulan lagi. Ya, tanggal 22 Mei nanti kau boleh datang padaku. Aku janji tidak akan melawanmu.” Lawan bicaranya tidak menjawab. Hanya suara serupa dengkuran yang keluar dari mulutnya. Atau itu hanya suara angin yang berhembus tepat di belakang mereka? Entahlah, kali itu ia tidak peduli. Pikirannya terlalu sibuk memikirkan kata-kata rayuan yang akan ia ucapkan berikutnya.
“Istriku baru melahirkan. Berilah aku kesempatan untuk merasakan diri menjadi seorang ayah.”
Lawan bicaranya perlahan pergi menjauh. Ia tunggu terus hingga sosok itu lamat-lamat menghilang dari pandangan.
“Berhasil!” pekiknya girang.
Tapi ternyata sekelebat janji yang ia ucapkan itu luntur tergerus rutinitas yang ia jalani. Anak yang lucu, istri yang dicinta dan pekerjaan yang terus memberinya limpahan uang.
Pikirnya, tak ada janji yang mesti ia tepati. Pikirnya tak ada sosok yang mesti ia temui. Pikirnya tak ada ancaman, tak ada masalah, tak ada gertakan yang mesti ia rasakan.
Argghh, sekarang ia mengerti. Perencanaan yang matang tetap mesti ia lakukan, walaupun hanya untuk sekedar mengingkari janji.
Tok Tok!
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Siapa itu?!” ucapnya bergetar.
“Saya, Mas.” Suara lembut seorang wanita terdengar dari balik pintu.
“Oh, masuk saja. Tidak dikunci.”
Bukan dia.
“Kenapa sudah pulang, Mas? Bukannya Mas ada janji dengan klien?” istrinya bertanya heran.
“Aku tidak enak badan, Dinda.”
Bohong! Batinnya menjerit.
“Bisa tinggalkan Mas sendiri? Mas ingin istirahat.” Tanpa menjawab, istrinya menganggukan kepala dan keluar dari ruangan.
Dinda tak perlu tahu. Cukuplah dirinya yang kelelahan dikejar-kejar ketakutan. Selama ini bukankah ia telah cukup kuat berlari menjauh dari ketakutan? Jika tidak, tidak akan ada rumah mewah yang ia tempati sekarang. Tidak akan ada Mercy Hitam terpakir di halaman. Tidak akan ada ini, tidak akan ada itu.
Tapi kali ini ketakutan itu serupa mimpi buruk yang mendatanginya setiap waktu. Perlawanannya tak cukup kuat. Kegagahannya tak membantu banyak. Pertahanannya runtuh. Ia ambruk, pasrah dikerubuti takut. Gusti!
***
Matanya merah. Posisi duduknya tak berubah semenjak kemarin siang. Sesekali ia usap wajahnya. Menyapu kantuk yang menyerang.
“Saya sedang ingin sendiri, Dinda!” begitu yang ia katakan tiap kali istrinya memanggil dari balik pintu.
“Dia tak akan datang, aku yakin tak ada kedatangan ketiga, keempat dan seterusnya. Belum waktunya!” ia coba meyakinkan hati. Tapi setiap ia yakin, setiap itu pula ia ragu. Sungguh menakutkan!
Dulu, ia selalu yakin semua ketakutan telah berhasil ia lawan. Tak ada rasa takut ketika sikut-menyikut menjadi jurus utamanya mempertahankan jabatan. Tak ada rasa takut ketika bertumpuk uang haram ia habiskan kontan. Namun, perlahan waktu dengan sadisnya mengikis semua keyakinannya itu.
Prang!!
Refleks ia terlonjak dari duduknya, kaget oleh bunyi yang terdengar.
Mercyku!. Perasaannya sangat yakin bahwa bunyi itu berasal dari mobil yang terparkir di halaman.
Entah datang darimana keberanian itu. Ia bergegas membuka pintu yang terkunci, menuruni tangga, melewati istrinya yang keheranan, melewati satu persatu ruangan menuju halaman. Bagaimanapun mobil itu susah payah aku dapatkan! Batinnya.
Matanya membelalak. Ternyata benar, suara itu berasal dari mobil kesayangannya. Kaca depannya pecah. Beberapa goresan terlihat silang menyilang melukai body hitam mobilnya.
“Siapa yang melakukannya?!” teriaknya sembari memasuki mobil. Semua rasa takutnya seakan menguap dan berganti menjadi kekesalan. Mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah saat ia mencoba menghidupkan mesin. Untung mesinnya dapat menyala, setidaknya itu sedikit mengobati kekesalannya.
Namun sesaat sebelum menjalankan kendaraan kesayangannya itu, pegangannya pada stir melemah. Matanya nanar menatap angka yang berkedip-kedip di jam digital yang menghiasi dashboard. Bukan, bukan pada angka yang terbesar. Tetapi pada sebaris angka kecil di atas angka besar.
22-04-2011
Bukankah itu bulan lalu?
Ia terhenyak. Ia ingat!
Ada ia.
Ada istrinya.
Ada pertengkaran.
Ada kecelakaan.
Ada perjanjian.
Ada jawaban;
“Tak ada janji mati! Kebanyakan manusia mengingkari!!!”
***
Posted in Karya Sastra, Sajak Sapardi Djoko Damono, tagged Karya Sastra, sajak, Sapardi Djoko Damono, sonet: x, syair on Oktober 21, 2011| 15 Comments »
Sonet : X
Sapardi Djoko Damono
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut biru
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: Siapa aku
Posted in Karya Sastra, Sajak Sapardi Djoko Damono, tagged Karya Sastra, sajak, Sapardi Djoko Damono, sonet: y, syair on Oktober 21, 2011| Leave a Comment »
Tengah mabuk sapardi,,salah satu yang membuatku mabuk adalah puisi ini 🙂
Sonet Y
Sapardi Djoko Damono
Walau kita sering bertemu
Di antara orang-orang melawat ke kubur itu
Di sela-sela suara biru
Bencah-bencah kelabu dan ungu
Walau kau sering kukenang
Di antara kata-kata yang lama t’lah hilang
Terkunci dalam bayang-bayang
Dendam remang
Walau aku sering kau sapa
Di setiap simpang cuaca
Hijau menjelma merah cuaca
Di pusing jantra
Ku tak tahu kenapa merindu
Tergagap gugup di ruang tunggu
Posted in Karya Sastra, WS Rendra, tagged bumi hangus, Karya Sastra, sajak, WS rendra on Juni 25, 2011| 10 Comments »
Waaahhh..sudah lama ga update blog..
Dua bulan ini emang sedang sibuk2nya.. ngurusin perpisahan di TK, ngurusin seminar Kampus (yang alhamdulillah sdh selesai dilaksanakan hari ini)..
Yess, Finally bener2 mulai bisa merasakan hawa liburan 😆
Walau tidak sempat posting blog,tapi sy tetap berusaha meluangkan waktu untuk membaca buku..Naah, kemarin2 sempat baca buku kumpulan Puisinya WS Rendra “Stanza dan Blues” yang pinjem dari temen,,hihi..
Ada satu puisinya yang menurut sy bagus..
yaitu “Bumi Hangus”
Bumi Hangus
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
Kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
bimbang kalbu oleh cedera
Di bumi yang hangus hati selalu bertanya
hari ini maut giliran siapa?
~WS. Rendra
Posted in Karya Sastra, Taufik Ismail on Mei 30, 2011| 14 Comments »
beberapa hari ini sedang menjaring makna dari buku kumpulan puisi Taufiq Ismail, di bawah ini ingin saya bagkan salah satu puisi beliau yang menurut sy bagus..sebuah ironi yang bukan hanya ada pada tahun 1998 tapi masih berlangsung sampai masa kini 😦
Setiap kami menyaksikan berbagai penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.
1998